Denpasar, Bali – Pulau Bali dikenal luas karena keindahan alamnya, kekayaan tradisi, dan budaya yang berakar kuat pada ajaran Hindu. Salah satu nilai luhur yang menjadi pedoman hidup masyarakatnya adalah Tri Hita Karana (THK), filosofi yang menekankan keseimbangan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, serta manusia dengan alam. Nilai ini termanifestasi nyata melalui berbagai kearifan lokal, salah satunya adalah Subak, sistem pengairan tradisional yang telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia sejak 2012.
Advokat sekaligus pemerhati adat budaya Bali, I Nyoman Wirajaya, S.H., M.H., menjelaskan bahwa Subak bukan sekadar sistem irigasi, melainkan juga mengandung nilai spiritual dan sosial yang tinggi. “Kegiatan Subak diatur berdasarkan hukum adat, disertai ritual keagamaan pada setiap tahapan pertanian. Ini wujud keseimbangan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta,” ujar Wirajaya saat ditemui di kantornya, King Justitia Law Office, Denpasar (29/10/2025).
Namun, nilai luhur ini tercoreng oleh kasus kontroversial Julian Petroulas, warga negara Australia yang mengklaim memiliki lahan seluas 1,1 hektar di kawasan Canggu, Badung. Dalam unggahan di kanal YouTube miliknya, Julian dengan gamblang menyebut rencana pembangunan klub malam, gym, hotel, hingga strip club, meski lokasi tanahnya berdampingan dengan pura dan area Subak. Klaim ini memicu kecaman publik karena dinilai melanggar adat dan kearifan lokal Bali.
Permasalahan semakin pelik ketika muncul dokumen resmi dari Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan RI yang menyatakan Julian terakhir kali masuk ke Indonesia menggunakan Visa on Arrival (VoA) hingga Agustus 2024, dan tidak tercatat kembali masuk setelah itu. Hal ini menimbulkan keraguan terhadap keabsahan surat kuasa dan dokumen kepemilikan tanah yang ia ajukan.
Sengketa ini akhirnya berujung di meja hijau melalui perkara Nomor 1606/Pdt.G/2024/PN Dps, di mana Pengadilan Negeri Denpasar menolak gugatan Julian Petroulas dan mengabulkan eksepsi tergugat, Philippe Claude Millieret, pada 29 Agustus 2025. Dalam sidang tersebut, Subak dan pemilik tanah turut memberikan kesaksian yang memperkuat posisi Philippe.
I Nyoman Wirajaya, selaku penasihat hukum Philippe, menegaskan bahwa tindakan Julian membangun pondasi jalan tanpa izin Subak telah melanggar hukum adat Bali karena menutup jalur irigasi. “Ketika diminta memberikan sumbangan adat senilai Rp10 juta, Julian justru menuduh pelecehan dan menolak kewajibannya. Ini bentuk wanprestasi, karena tidak memenuhi isi perjanjian sebagaimana tertuang dalam akta otentik,” tegasnya.
Wirajaya menjelaskan, sesuai Pasal 1320 KUHPerdata, sahnya suatu perjanjian mensyaratkan unsur subjektif dan objektif. Jika salah satunya tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan atau batal demi hukum. “Dalam kasus ini, Julian jelas lalai melaksanakan kewajibannya, sehingga menimbulkan kerugian bagi klien kami, Philippe Claude Millieret,” tutupnya.
Kasus ini menjadi cermin penting bahwa di balik pesona Pulau Dewata, kearifan lokal dan hukum adat Bali harus tetap dijaga serta dihormati, termasuk oleh warga negara asing yang berinvestasi di tanah yang penuh nilai spiritual ini.
# julianpetroulas
#subak
#bali
#philippeclaudemillieret
#kingjustitialawoffice
#netizen

